Masih ingin kulihat keheningan itu
sekali lagi
Sebelum nanti aku juga pergi
dan memori-memori
yang kurekam tadi
Menghamburku ragu-ragu

Dingin, sunyi, dan hambaritas itu
yang kurindu
Ia memuncak, mencuat
Meruncing.
Menusukku dari dalam
Dan aku tau rasa itu
Meski tak ingat aku

25.09.18

L.A.N


Nyonyanti Sudah beberapa hari kegiatan blogging terputus. Hal itu  dikarenakan Handphone yang saya gunakan sebagai modem rusak. Sudahlah, jangan dipikirkan. Setelah sebelumnya saya memposting puisi berjudul Rumahku, Cintaku dan cerpen Surga Tanpa Cinta, pada postingan ini, saya akan membagikan puisi yang saya tulis ketika saya masih baru belajar menulis sastra. Bisa dibilanglah masih 'cupu' dalam dunia sastra. 


Pertama :

  Banjir
Saat hujan datang menyerbu
Butiran air jatu berdayu – dayu
Membasahi tubuh bumi yang lugu

Datang hujan sampah pun hilang
Terbawa arus hingga tergerus

Terus menerus hingga tembus

Hingga saatnya air tak tahan
Banjir datang untuk menyerang

Orang – orang lugu diam kebingungan
Heran merasa tak bersalah
Sambil menatap air yang kian tinggi membumbung
Hingga mati ia tenggelam


Kedua :

 Gadis – Gadis Perawan
Dengar dulu ceritaku ini, kawan
Ini cerita tentang perempuan
Hidup dalam penuh perjuangan
Mempertahanka harta warisan
Yang hanya satu dari Tuhan

Setiap hari telah dihabiskan
Meniti iman meski banyak yang dikorbankan
Harta benda juga saying

Namun….
Seiring dengan rayuan juga godaan
Gugur iman dan hilang perawan
Terlepas juga mahkota kehormatan
Dari rambut panjang nan indah dalam kerudung

Habis sudah semua harta warisan
Sekarang dia menangis karena mengandung

Dalam tubuhnya tumbuh manusia tak berdosa tapi ternoda

Tumbuhlah bayi menjadi besar
Dipenuhi rasa sesal di dalam kamar
Tanpa seorang yang mau membayar



Ketiga :

 Bangkit! Bangkit!
Tiba saatnya bagi kita untuk bangkit
Menerjang tornado yang terus melilit
Tuntaskan masalah yang kian rumit

Sudah terlalu lama
Kita diderai hina dan derita
Menahan beban dengan beratnya

Saatnya sekarang kita berkuasa
Taklukkan dunia yang merajalela
Bersihkan semua kotoran dosa


Keempat :
Tidakkah Sadar?

Setiap hari kau lontarkan padaku

Lelucon – lelucon aneh tentang kehidupan
Berpikir aku percaya setitik pun

Persetan dengan semua lelucon itu
Karena manusia semuanya sama
Tak seorang pun yang sempurna
Yang ada hanyalah sok tahu

Kita ini kumpulan sampah
Meskipun kotor, tapi berguna
Walau terus mendapat hiina

Tak sadarkah kau akan itu?
Ayo! Buka matamu
Lihat dunia yang begitu maya
Agar kau mengerti siapa
Dan memahami arti mengapa

  Oke, itulah beberapa puisi yang telah saya tulis beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya setelah saya lulus sekolah alias baru mengenal sastra (cupu)......

Terima kasih telah berkunjung kemari. Baca juga postingan lainnya dan jangan lupa untuk meningga
AKU GAGAL, TUHAN

Tatkala kucoba menghitung Matematika Tuhan,
Yang kutemui hanyalah rumus-rumus rumit sang malaikat
Yang tak terurai oleh Aljabar
Atau pun dalil phytagoras dan ptolomeus

Secarik gravitasi yang menarikku ke dalam kebingungan yang semakin rumit
Tak dapat dihitung oleh Hukum Gravitasi Newton,
Keppler pun tak mampu ciptakan rumus baru untuknya
Terlebihlah diriku

Malam semakin larut
Tatkala kembali kucoba menghitung Matematika takdir Tuhan
Dan lagi-lagi
Aku gagal,
Tuhan
😞

29.8.2017

L.A.N

Ini adalah sebuah coretan kecil berupa sebuah puisi sambung antara tiga orang.


A:
Dalam setiap tusukan jarum asmara
Ingin ku menolak, tapi apa daya
Hatiku telah renta akan kasihnya

B:
Jiwaku merana tanpa belainya
Terkulai lemah tak berdaya
Tanpa tatap sayu matanya

Yang dulu pernah mendekap tidurku
Yang dulu pernah menemani mimpiku

A:
Aku rindu mata itu,
Mata yang pernah memberi kehangatan pada nadiku

B:
Semua telah berlalu
Sayang,
Meski hatiku rindu
Tak pernah akan kau kembali
Untuk mendekap tidurku
Walau hanya sebatas mimpi

A:
Dinginnya malam membuat tetesan embun di pipiku
Saat ku buka kenangan manis waktu itu
Sepinya malam semakin membuat sunyi dalam hatiku
Saat teringat kau mengosongkan cintamu

C:
Walau hanya sekedar kecupan

Akan ku bawa kau kembali pada sukma yang pernah kau sematkan dalam hatiku, dulu

B:
Akh...
Entah mengapa hanya sesal yang ada
Sementara kau pun telah tiada

Tak tahu kini engkau dimana
Mungkinkah kau bersamanya?
Atau telah pergi jauh untuk selamanya

A:
Maafkanlah, adinda
Jika diriku tak bisa lupa
Pada semua kenangan manis kita
Sungguh engkaulah satu - satunya insan yang tak terlupa



Senandung hujan
Adalah peghibur
Dalam kesakralan bahagiamu
Yang runtuh dari langit
Membasahi kekuyupanku

Senandung hujan
Adalah  gig tubuhku
Yang sayup oleh angin
Gigil tubuhku yang gagal
Sampaikan pesan dari teman-teman

Sejuta peluru menembus tubuhmu
Terus bertumbuh menjadi satu
Dalam bahagiamu

Telah dapat kubayangkan
Betapa sakitmu
Untuk mengeluarkan sebutir peluru itu dari tubuhmu
Dalam pertaruhan hidupmu

Singkawang, 21 Mei 2017,

Untuk temanku yang kini berbahagia dalam rumah tangga


Setelah kemarin saya memposting sebuah puisi berjudul RUMAHKU, CINTAKU , kali ini saya akan bagikan sebuah cerpen karya saya sendiri juga. Cerpen ini merupakan hasil adaptasi dari sebuah cerpen seorang teman saya, Rizky Putri Ariani yang telah di posting oleh Muhammad Ridho dalam blog pribadinya Yakusa Blog
Baiklah, tak perlu panjang lebar karena ini bukan ceramah atau sejenisnya. berikuut cerpen yang berjudul SURGA TANPA CINTA.

Siang itu, sepulang sekolah Putri mendapatkan sesuatu yang tak diduga, dipikirkan, sekaligus tak diinginkan olehnya. Ibunya. Ya, ibunya kali ini datang menjemputnya ke sekolah. Entah mengapa
            Dari kejauhan,  Bu Laksmi, ibunya putri telah memanggilnya berkali – kali, bahkan memberi  isyarat berupa lambaian tangan. Tetapi, Putri berpura – pura tak mendengar atau melihatnya. Iia tetap asyik bercakap – cakap dengan temannya sambil berjalan pulang.
            Dalam hati, Putri masih sakit hati atas tindakan ibunyakemarin yang telah memakinya dan merusak beberapa peralatan sekolahnya dan membakarnya. Hanya karena masalah sepele, sebagian peralatan sekolahnya berubah menjadi abu dalam sekejap.
Saat itu, Bu Laksmi menyuruh Putri untuk berbelanja sesuatu ke warung Bu Maryo. Namun, putrid tak mau. Ia sedang mengerjakan PR Matematikanya. Bu Laksmi terus menyuruh Putri tanpa peduli dengan jawaban anak perempuannya itu. Akhirnya, karena merasa jengkel, Putri malah membentak ibunya dari kamarnya.
            Kemarahan Bu Laksmi memuncak karena tak disangkanya Putri berani membentak dirinya. Dari dapur, Bu Laksm mendatangi kamar Putri dan merusak beberapa peralatan sekolah milik Putri yang saat itu sedang digunakan oleh Putri. Buku, dan beberapa seragam  sekolah menjelma menjadi abu atas kemarahan Bu Laksmi. Putrid yang sakit hati atas tindakan ibunya,, pergi dari rumah dengan suasana hati yang panas
            Setelah sehariaan pergi dari rumah, Putri kembali setelah Maghrib. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung masuk ke kamarnya tanpa mempedulikan ibu, ayah dan kakak lelakinya. Tidur adalah jalan terbaik baginya untuk melupakan masalah yang dihadapinya saat itu.
Keesokan harinya, putrid berangkat ke sekolah dengan seragam pemberian Ririn sahabatnya. Seragamnya yang kusut selaras dengan wajahnya ynag murung. Tidur terlalu dini dan bangun terlambat membuatnya tak sempat menyetrika seragamnya.
Hanya berkat dukungan dari teman – temannyalah, Putri yang berangkat sekolah dengan wajah murung dapat melupakan masalahnnya sejenak. Dan sekarang sepulang sekolah, masalah itu seolah diangkat lagi ke permukaan. Wajah Putri tiba  - tiba terlihat penuh dendam dan kebencian ketika ia bertemu dengan ibunyaa di gerbang sekolah. Ibunya mendatanginya dan mengajak pulang bersama. Semua teman – temannya undur diri setelah  Bu Laksmi menghampiri Putri seakan menyuruhnya untuk meminta maaf pada ibunya.
***
Setelah cukup lama menunggu di halte, tak ada lagi orang di sana kecuali dua orang pria kumal yang duduk tak jauh dari mereka berdua. Bu Laksmi mengajak Putri untuk pulang dengan berjalan kaki saja. Dengan kesal putri bernjak dari kursi tunggu. Namun, ketika Putri hendak berdiri, pria yang duduk paling dekat dengannya menodong dengan pisau.
Bu Laksmi yang menjadi saksi penodongan itu marah dan menyerang keddua berandalan tersebut sambil menyuruhh Putri untuk lari.  Sementara, putri hanya berdiam diri di tempatnya bahkan ketika ibunya tertusuk pisau berandalan tersebut.
Lima detik Putri terdiam setelah ibunya ditusuk pisau memberikan kesempatan pada berandalan tersebut untuk kabur membawa barang jarahannya. Tak terasa benda bening mengalir di pipinya menyaksikan darah membanjir di tubuh ibunya yang tergeletak tak bedaya. Ia seakan tak dapat bergerak lagi.
Bu Laksmi meninggal karena kehabisan darah ketika dibawa ke rumah sakit. Berita itu membuat Pak Bram, suaminya merasa terpukul. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ricky, kakak Putri. Kerabat, guru, dan sahabat  - sahabat Putri dan Ricky datang untuk berbela sungkawa sambil mendoakan supaya arwah Bu Laksmi dapat diterima di sisi-Nya.
Keesokan harinya, ketika hendak menyuguhkan kopi untuk ayahnya seperti biasanya, Putri menemukan sesosok mayat bersimbah darah di kamar orangtuanya yang tak lain asalah ayahnya sendiri. Ayahnya yang ia kenal sebagai orang yang ringan tangan itu mengakhiri hidupnya setelah istrinya tercinta tewas dibunuh.
Putri histeris melihat mayat ayahnya tergeletak di lantai kamar. Kakaknya yang segera datang langsung memeluknya untuk menenangkannya dan memberi pengertian.
Putri hanya bisa menangis lagi menyaksikan jasad ayahnya dikubur di samping makam ibunya yang baru kemarin dikuburkan. Kesehatannya mulai menurun setelah kedua orangtuanya pergi untuk selamanya. Ricky terpaksa tak masuk kuliah untuk menjaga adiknya. Sahabat Putri pun silih berganti menjenguk dan memberi semangat padanya.
Dan suatu hari di suatu tempat yang saat itu sedang turun hujan, air yang berjatuhan dari langit berubah menjadi merah setelah menyentuh bumi. Di suatu gang perumahan yang sempit, dekat dengan got, seorang anak perempuan berusia 16 tahun tengah mengayunkan pisau ditangannya yang akhirnya menembus leher seorang pria kumal. Seorang temannya telah berubah menjadi potongan – potongan daging. Tak lama kemudian yang satu lagi menyusul menjadi danging potong. Dan Putri tersenyum senang  setelah membalaskan kematian orangtuanya.
Singkawang, 28 April 2017
 21:00